
Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-74 (HUT RI), Komunitas Masyarakat Sipil Indonesia Kota Depok, Jawa Barat, menggelar acara Jalan-jalan Sejarah Keberagaman Depok Tempo Dulu. Acara yang digelar pada Sabtu, 24 Agustus 2019 lalu ini diikuti oleh masyarakat umum, mahasiswa, dan mereka yang menaruh minat pada sejarah kota. Perjalanan dimulai dari Masjid Universitas Indonesia (Masjid UI), lalu ke situs sejarah Rumah Pondok Cina, Stasiun Depok, kemudian menyusuri beberapa gedung bersejarah di kawasan Jalan Pemuda, Kota Depok antara lain Gedung Gemeente Bestuur (Kotapraja) Depok, Paal Gedachtenis Aan Chastelein atau yang lebih dikenal dengan Tugu Chastelin, Rumah Presiden Depok, Depoksch Europasche School (SDN Pancoran Mas 2), Depoksch Kerk, hingga Stichting Cornelis Chastelein.
Pada kegiatan tersebut, hadir pula sejarawan JJ Rizal. Alumnus Universitas Indonesia tersebut mengaku miris menyaksikan sejumlah bangunan bersejarah di Kota Depok makin merana. Ironisnya, ujar Rizal, Pemerintah Kota Depok lebih memprioritaskan pembangunan fisik untuk masa kini dan mendatang ketimbang penyelamatan bangunan masa lampau yang juga berguna untuk generasi penerus. “Kecenderungan Depok seharusnya mengarah ke kota biru dan kota hijau, kenapa sekarang Depok itu menjadi kota abu-abu, aspal dan beton melulu,” kata Rizal. Menurut Rizal, kota biru diartikan sebagai kota yang memiliki situ atau lokasi penampungan air terbanyak. Sedangkan kota hijau adalah kota yang memiliki banyak pohon. Namun, kata Rizal, realitanya, Depok justru krisis RTH (ruang terbuka hijau), dan banyak situ yang hilang akibat pembangunan.
Rizal mengatakan, sudah seharusnya Pemerintah Kota Depok memikirkan pembangunan kota yang berorientasi terhadap sejarahnya. “Depok adalah kota pertama yang punya cagar alam. Depok juga memiliki 31 situ. Depok harus jadi kota hijau dan biru,” ucap Rizal. “Dari sejarah kita dapat menemukan identitas Kota Depok yang menyejarah sebagai kota yang bukan hanya plural, multikultural tetapi malahan interkultural,” kata Rizal. “Semoga setelah mengikuti jalan-jalan sejarah ini, peserta bisa membantu mengkampanyekan agar Pemerintah Kota Depok insyaf, tidak mendurhakai identitas sejarahnya, dan kembali kepada fitrahnya sebagai kota yang sejatinya kota beragam,” kata Rizal.
Mahasiswa Program Studi Arsitektur Lanskap ISTN angkatan 2017, Risalah Rabbani Ramadhan, turut serta dalam kegiatan ini. Mahasiswa semester 5 yang akrab disapa Risal ini menuturkan pengalamannya mengikuti acara tersebut. Menurut Risal, Kota Depok sebagai kota yang beragam perlu menguatkan kekuatan masyarakatnya (green society). “Kita tidak dapat selalu menyalahkan pemerintah. Kita sebagai warga masyarakat Kota Depok juga harus menyadari kesejarahan Kota Depok yang menjadi dasar dan arah dalam pengembangan perencanaan dan perancangan Kota Depok”, ujar Risal. Ketersediaan ruang terbuka yang masih minim serta polusi udara yang semakin parah saat ini juga tengah dihadapi Kota Depok. Risal berharap dengan kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran bersama terkait pentingnya menjaga kelestarian lanskap Kota Depok.


